SELAMAT DATANG DI BLOG SASITO. BLOG YANG MENYAJIKAN CARA MEMBUAT DAN MEMODIFIKASI BLOG
INGATLAH !! PENGETAHUAN YANG DIPEROLEH HARI INI AKAN MEMPUNYAI MANFAAT YANG BESAR DI SUATU HARI NANTI.

Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanski berupa pemidanaan dan / atau denda bagi para pelanggarnya. Hukum pidana dikenal dengan 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran (Wikipedia.org, 2015). Sedangkan Prof. Moeljatno, SH (1982) mengemukakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan-aturan tersebut. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.
Selanjutnya hukum pidana dapat dibedakan dari berbagai segi, yaitu :Hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif (P.A.F. Lamintang, 1984).
Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil
Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini dengan hukum acara pidana (P.A.F. Lamintang, 1984).
Di Indonesia mengenal hukum acara pidana yang dituangkan kedalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP sebagai dasar proses hukum untuk menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa setiap warga negara diwajibkan untuk mengetahui KUHAP sebagai hak warga negara agar para penegak hukum tidak dengan mudah melakukan hal-hal untuk kepentingan tertentu dalam melaksanakan tugasnya dengan dalih "sudah sesuai dengan hukum yang berlaku".
Berikut ini ditampilkan isi dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan tujuan agar setiap warga negara dapat mengetahui hak-haknya apabila dihadapkan kepada masalah hukum.
Hal-hal yang perlu diperhatikan setiap warga negara bila dihadapkan dalam permasalahan dan / atau proses hukum sebagaimana tercantum dalam KUHAP di atas dalam penerapan pasal pidananya menurut KUHP, adalah:
I. Dalam Hal Penyelidikan dan Penyidikan serta di Pengadilan
1. Pasal 1 ayat (26) berbunyi :
"Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu".
Pasal ini memuat bahwa seseorang yang melihat serta mendengar atau mengalami suatu kejadian tindak pidana di suatu tempat yang dilakukan seseorang terhadap orang lainnya atau diri sendiri untuk memberikan keterangan terhadap tindak pidana tersebut kepada penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan sampai kepada Hakim.
2. Pasal 1 ayat (27) berbunyi :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu".
Pasal ini memuat bahwa seseorang menyebutkan atau memberikan keterangan suatu kejadian tindak pidana yang dilakukan seseorang terhadap orang lainnya sesuai dengan yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri kepada penegak hukum seperti polisi, jaksa sampai kepada hakim.
3. Pasal 183 berbunyi :
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".
4. Pasal 184 berbunyi :
(1) Alat bukti yang sah ialah :
   (a) keterangan saksi;
   (b) keterangan ahli;
   (c) surat;
   (d) petunjuk;
   (e) keterangan terdakwa.
5. Pasal 185 :
  1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan.
  2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
  3. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
  4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
  5. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
  6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
    1. Penyesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
    2. Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
    3. Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
    4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
  7. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
II. Dalam Hal Penangkapan / Penggeledahan
1. Pasal 17 berbunyi :
"Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang di duga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2. Pasal 21 ayat (4) huruf (a) berbunyi :
"Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : (a) tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih".
Pasal ini memuat bahwa apabila seseorang disangkakan / diduga kuat telah melakukan tindak pidana dengan 2 (dua) alat bukti sah yang diperoleh polisi, jaksa atau hakim bila ancaman pidananya dengan penjara lima tahun atau lebih, dapat dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa tersebut.
Namun sering kali kita melihat melalui media massa, aparat penegak hukum melakukan penahanan terhadap tersangka dengan memakai dalih sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 yang berbunyi : "Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana" dan membuat pasal berlapis sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia (di luar KUHP). 
Walaupun demikian kita juga harus memberikan aplaus pada era pemerintahan dimana kasus yang menimpa salah satu petinggi Golkar pada waktu itu, pihak penegak hukum benar-benar menerapkan hukum seutuhnya, hal mana tersangka / terdakwa tersebut dalam proses hukum dari pihak Kepolisian hingga ke Mahkamah Agung, tersangka dan atau terdakwa tidak di tahan sebelum keluar putusan hukum yang berkekuatan tetap.
3. Pasal 38 ayat (1) berbunyi :
"Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat"
serta ayat (2) berbunyi:
"Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya".
4. Pasal 42 ayat ayat (1) berbunyi :
"Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harusdiberikan surat tanda penerimaan".
Sementara Andi Hamzah (2001) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan melakukan suatu tindak pidana bila memenuhi unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
  1. Kelakukan dan akibat (perbuatan)
  2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
  3. Keadaan yang memberatkan pidana
  4. Unsur melawan hukum yang objektif
  5. Unsur melawan hukum yang subjektif


Referensi
  1. Moeljatno, 1982. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara
  2. P.A.F. Lamintang, 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru
  3. Andi Hamzah, 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia hlm. 22

0 komentar:

Posting Komentar