PENGARUH BERMAIN CLAY TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP UKURAN DAN KEMANDIRIAN ANAK
---------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Hakikat Pemahaman Konsep Ukuran
2.1.1 Pengertian Pemahaman Konsep Ukuran
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pemahaman berasal dari kata paham yang artinya pengertian, pengetahuan yang banyak. Jika mendapat imbuhan pe-an menjadi pemahaman, artinya (1) proses, (2) perbuatan, (3) cara memahami atau memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham), sehingga dapat diartikan bahwa pemahaman adalah suatu proses dan cara mempelajari baik-baik supaya paham dan pengetahuan banyak.
Pemahaman adalah kemampuan melihat hubungan-hubungan antara berbagai faktor atau unsur dalam situasi yang problematis (Hamalik, 2013). Pendapat lain mengemukakan bahwa paham memiliki makna pengertian aliran dan haluan. Kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat (Sudiyono, 2009). Pemahaman adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan dalam bentuk lain yang dapat dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengklasifikannya (Ernawati, 2003).
Anak disebut memahami sesuatu ketika mampu menerapkan dan mengungkapkan kembali pengetahuannya akan suatu konsep. Dengan demikian anak mampu menerapkan konsep yang telah dimilikinya walaupun dihadapkan dengan permasalahan yang berbeda. Dengan pemahaman konsep pengetahuan yang dimilikinya anak akan mampu untuk mempertahankan pendapatnya dan memberikan alasan yang jelas ketika berdiskusi. Pemahaman konsep memberikan kesempatan kepada anak untuk memperluas pengetahuannya seperti dengan kegiatan memberikan contoh, mengklasifikasikan benda-benda disekitarnya ke dalam kelompok tertentu dan memperkirakan sesuatu yang akan terjadi ketika suatu tindakan diberikan kepada suatu benda (Septikasari, 2015) .
Pelaksanaan pembelajaran aktif membutuhkan peran serta guru dalam belajar mengajar. Selama proses pembelajaran peserta didik diminta untuk menemukan dan memahami konsep dari materi yang telah diberikan secara mandiri. Kemandirian belajar yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berproses baik secara individu maupun secara berkelompok. Pemilihan strategi yang tepat dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian belajar peserta didik. Oleh karena itu peranan guru dalam proses pembelajaran menjadi sangat krusial dikarenakan guru harus mampu menumbuhkan sikap mandiri peserta didik pada saat pembelajaran berlangsung (Septikasari, 2015).
Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Konsep dapat dibangun dan digunakan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Disebutkan dalam Rosalind Charlesworth dan Karen K. Lind (1990), anak-anak mulai menyusun konsep pengetahuan yang dimilikinya semenjak masa preprimary yang dilaluinya, lalu mereka akan mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah yang merupakan awal dari proses inquiry. Selama masa preprimary anak-anak akan belajar dan mulai mengaplikasikan konsep dasar pada matematika dan sains. Setelah anak-anak memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu kelas 1-3 pada sekolah dasar, anak akan mengaplikasikan konsep dasar yang telah dimilikinya ketika bereksplorasi dalam proses inquiry sains yang lebih abstrak dan membantu mereka untuk memahami konsep matematika yang lebih kompleks, seperti penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan penggunaan ukuran baku dalam pengukuran (Septikasari, 2015).
Terkait konsep dan keterampilan mengukur berdasar standar CCSSM, anak usia TK memiliki tugas untuk mendeskripsikan dan membandingkan ukuran, seperti panjang dan berat. Terdapat 3 macam perbandingan yang dapat membantu anak dalam mengembangkan konsep ukuran, yaitu membandingkan dua benda (apakah terlihat sama atau tidak), membandingkan dua benda yang berdekatan secara langsung dan membandingkan dua objek secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan 3 benda.
Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, dimana siswa tidak sekedar mengetahui atau mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interpretasi data dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya (Patria, 2007).
Ukuran merupakan hasil mengukur, panjang lebar, luas besar sesuatu, bilangan yang menunjukkan besar suatu ukuran suatu benda (Hasan, 2005). Setiap ukuran pada suatu objek melibatkan objek lain sebagai perbandingan. Hal ini dikarenakan pernyataan panjang dan pendek, berat dan ringan, atau sedikit dan banyak akan bermakna ketika berhubungan dengan objek lain yang memiliki sifat yang sama (Septikasari, 2015).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep ukuran adalah suatu proses dan cara mempelajari baik-baik supaya paham sebagai gambaran mental dari objek dan proses di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hasil mengukur, panjang lebar, luas besar sesuatu dan bilangan yang menunjukkan besar suatu ukuran suatu benda.
2.1.2. Tahapan Perkembangan Konsep Ukuran
Berdasarkan Ministry of Education, New Zealand (2010) dikemukakan bahwa kegiatan pembelajaran harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan pemahaman konsep ukuran yang dimiliki oleh anak usia dini. Dalam situsnya, http://nzmaths.co.nz, Pemerintah New Zealand menyebutkan bahwa terdapat 4 tahapan untuk mengenalkan konsep ukuran kepada anak usia dini. Tahapan tersebut adalah mengidentifikasi atribut, membandingkan benda secara langsung, membandingkan benda dengan tidak langsung dan menggunakan alat untuk mengukur.
1. Tahap pertama adalah mengenalkan anak untuk mengidentifikasikan atribut. Fokus utama dari langkah ini adalah membantu anak-anak untuk menyadari atribut dari suatu objek, sehingga dapat mengidentifikasi dengan jelas besaran apa yang akan diukur dari suatu benda. Hal ini penting karena anak-anak perlu memiliki pemahaman tentang panjang, volume dan berat badan. Hal ini akan membantu anak dalam kegiatan membandingkan dan mengukur atribut ini. Untuk mengembangkan pemahaman ini anak-anak membutuhkan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi benda-benda dan mendiskusikan pengalaman ini dengan orang lain. Anak usia dini perlu diperkenalkan atribut atau besaran sesuai bahasa deskriptif, seperti istilah besar, berat, tinggi.
2. Tahap kedua adalah membandingkan benda secara langsung. Fokus utama dari langkah ini adalah untuk membandingkan langsung atribut dari dua atau lebih objek. Dalam kegiatan ini anak dapat menyatakan benda dengan istilah lebih panjang, lebih berat atau lebih banyak. Anak usia dini akan memerlukan waktu yang panjang untuk menggunakan istilah-istilah ini pada suatu benda tanpa mengubah kuantitas atribut yang sedang diselidiki. Hal ini sering digambarkan suatu sebagai konservasi ukuran. Dalam tahap ini guru dapat memberikan kegiatan dengan memindahkan posisi benda yang sedang diukur oleh anak serta menuang air pada gelas atau wadah yang berbeda. Tahap ketiga adalah membandingkan benda secara tidak langsung. Fokus utama dari langkah ini adalah untuk membandingkan objek ketika benda tersebut tidak dapat dihadirkan bersama-sama secara langsung. Misalnya, anak-anak dapat mengukur panjang meja dan meja guru di kelasnya dengan menggunakan buku. Anak meletakkan buku hingga memenuhi mejanya masing-masing, lalu anak meletakkan buku pada meja guru hingga penuh pula. Anak membandingkan banyak buku pada mejanya dan meja guru sehingga dapat mengetahui meja manakah yang lebih besar. Hal ini penting karena perbandingan secara tidak langsung memberikan cara yang berguna bagi anak untuk mengukur, bahkan sebagai orang dewasa. Tahap keempat adalah menggunakan alat untuk mengukur. Fokus utama dari langkah ini adalah untuk menggunakan benda-benda biasa untuk mengukur. Benda yang dapat digunakan untuk mengukur dapat berupa benda yang telah tersedia di sekitar anak dan telah dikenalnya, seperti telapak tangan dan langkah kaki. Pada tahap ini satuan ukuran yang penting untuk dikenalkan kepada anak. Menggunakan objek untuk mengukur juga memperkenalkan banyak prinsip pengukuran seperti estimasi atau perkiraan. Kegiatan mengukur dan estimasi dapat dilakukan dalam satu kegiatan, misalnya dengan meminta anak-anak menebak berapa banyak cangkir air akan masuk ke dalam kendi sebelum mereka melakukan pengukuran.
2.1.3. Indikator Pemahaman Konsep Ukuran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Patria (2007), indikator yang termuat dalam pemahaman konsep adalah :
1. Mampu menerangkan secara verbal mengenai apa yang telah dicapainya.
2. Mampu menyajikan situasi ke dalam berbagai cara serta mengetahui perbedaan.
3. Mampu mengkalsifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut.
4. Mampu menerapkan hubungan antara konsep dan prosedur.
5. Mampu memberikan contoh dan contoh kontra dari konsep yang dipelajari.
6. Mampu menerapkan konsep secara algoritma.
7. Mampu mengembangkan konsep yang telah dipelajari.
Badan Standar Nasional Pendidikan menyatakan indikator-indikator yang menunjukkan pemahaman konsep antara lain :
1. Menyatakan ulang setiap konsep.
2. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya).
3. Memberikan contoh dan non contoh dari konsep.
4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis.
5. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep.
6. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu.
7. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah (Sasriani, 2015).
2.2. Konsep Kemandirian
2.2.1. Pengertian Kemandirian
Dalam kamus psikologi, kemandirian berasal dari kata “independence” yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Chaplin, 2011). Subroto mengartikan kemandirian sebagai kemampuan anak untuk melakukan aktivitas sendiri atau mampu berdiri sendiri dalam berbagai hal (Wiyani, 2014). Kemandirian diartikan sebagai suatu kekuatan internal individu dan diperoleh melalui proses individuasi yang berupa proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan (Ali & Asrori, 2011).
Pendapat lain menyatakan bahwa kemandirian diartikan sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri dalam berpikir dan bertindak serta tidak merasa bergantung pada orang lain secara emosional. Pada intinya, orang yang mandiri itu mampu bekerja sendiri, tanggungjawab, percaya diri dan tidak bergantung pada orang lain (Uno, 2010). Menurut Lamman bahwa kemandirian merupakan suatu kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain (Fatimah, 2006). Kemandirian anak usia dini sebagai karakter yang dapat menjadikan anak dapat berdiri sendiri, tidak tergantung dengan orang lain, khususnya orangtuanya (Wiyani, 2014) .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri dalam berpikir dan bertindak serta tidak merasa bergantung pada orang lain dan dapat berdiri sendiri.
2.2.2. Aspek-Aspek Kemandirian
Menurut Kartono dalam Wiyani (2014), bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek yaitu :
1) Aspek emosi
Aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orangtua.
2) Aspek ekonomi
Aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua.
3) Aspek intelektual
Aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4) Aspek sosial
Aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
Dari keempat aspek di atas, dapat dikatakan bahwa kemandirian bagi anak usia dini sangat terkait dengan kemampuan seorang anak dalam menyelesaikan suatu masalah. Bahwa karakter mandiri ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif dan mengatasi masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasaan dari usahanya serta ingin melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Menurut Diane dalam Yamin (2013) kemandirian anak usia dini dapat dilihat dari pembiasan perilaku dan kemampuan anak dalam kemampuan fisik, percaya diri, bertanggungjawab, disiplin, pandai bergaul, mau berbagi, mengendalikan emosi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kemandirian adalah aspek emosi, aspek ekonomi, aspek intelektual dan aspek sosial.
2.2.3 Ciri-Ciri Kemandirian
Menurut Sholihatul (2011), anak yang mandiri untuk ukuran anak TK terlihat dengan ciri-ciri:
1. Dapat melakukan segala aktivitasnya secara sendiri meskipun tetap dengan pengawasan orang dewasa.
2. Dapat membuat keputusan dan pilihan sesuai dengan pandangan, pandangan itu sendiri diperolehnya dari melihat prilaku atau perbuatan orang-orang disekitarnya.
3. Dapat bersosialisasi dengan orang lain tanpa perlu ditemani orangtua.
4. Dapat mengontrol emosinya bahkan dapat berempati terhadap orang lain. Penanaman sifat kemandirian ini harus dimulai sejak anak pra sekolah. Tetapi harus dalam kerangka proses pekembangan manusia, artinya orang tua tidak boleh melupakan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, sehingga ia tidak bisa dituntut menjadi orang dewasa sebelum waktunya, serta orang tua harus mempunyai kepekaan terhadap setiap proses perkembangan anak dan menjadi fasilitator bagi perkembangannya.
Sementara itu menurut Gilmore menyatakan bahwa di dalam kemandirian terdapat beberapa ciri-ciri dan merumuskan ciri kemandirian tersebut, yaitu :
a. Ada rasa tanggungjawab.
b. Memiliki pertimbangan dalam menilai problem yang dihadapi secara intelegen.
c. Adanya perasaan aman bila memiliki pendapat yang berbeda dengan orang lain.
d. Adanya sikap kreatif sehingga menghasilkan ide yang berguna bagi orang lain (Thoha C. , 2000).
Sementara Lindzey dan Ritter (1975) berpendapat bahwa individu yang mandiri mempunyai ciri-ciri, yaitu :
a. Menunjukkan inisiatif dan berusaha untuk mengejar prestasi.
b. Secara relatif jarang mencari pertolongan pada orang lain.
c. Menunjukkan rasa percaya diri.
d. Mempunyai rasa ingin menonjol (Sukmadinata, 2003).
Pendapat lain mengemukakan beberapa hal dari ciri-ciri kemandirian yaitu percaya diri, mampu bekerja sendiri, menguasai keahlian dan keterampilan, menghargai waktu dan bertanggungjawab (Gea, 2002). Namun sebaliknya menurut Beller bahwa orang yang mempunyai kemandirian rendah biasanya memiliki ciri khusus antara lain mencari bantuan, mencari perhatian, mencari pengarahan dan mencari dukungan pada orang lain (Ali & Asrori, 2011).
Dengan melihat beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kemandirian anak adalah adanya sikap kreatif, percaya diri, mampu bekerja sendiri, menguasai keahlian dan keterampilan, menghargai waktu dan bertanggungjawab.
2.2.4. Karakteristik Kemandirian
Steinberg (2002) dalam Desmita (2011) mengemukakan bahwa karakteristik kemandirian terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yaitu :
1. Kemandirian emosional yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu terutama sekali dengan orangtua atau orang dewasa lainnya yang banyak melakukan interaksi dengannya.
2. Kemandirian kognitif, yakni suatu kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan secara bebas dan menindaklanjutinya. Kemandirian kognitif yaitu mandiri dalam bertindak dan bebas untuk bertindak sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan orang lain. Kemandirian bertindak dimulai sejak usia anak dan berkembang dengan sangat tajam sepanjang usianya.
3. Kemandirian nilai, yakni kebebasan untuk memaknai seperangkat benar – salah, baik–buruk apa yang berguna dan sia-sia bagi dirinya sendiri. Diantara ketiga komponen kemandirian, kemandirian nilai merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna disbanding kedua tipe kamandirian lainnya. Kemandirian nilai semakin berkembang setelah sebagian besar cita–cita pendidikan, rencana pekerjaan, pernikahan dan identitas diri tercapai. Beberapa ahli mengakui keluarga dan lingkungan sekolah sebagai sumber utama bagi perkembangan kemandirian nilai.
Berkaitan dengan kognitif, Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini pada standar isi tentang tingkat pencapaian perkembangan anak dalam lingkup perkembangan kognitif untuk usia 5-6 tahun adalah :
1. Menunjukkan aktifitas yang bersifat eksploratif dan menyelidik (seperti : apa yang terjadi ketika air ditumpahkan)
2. Memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang fleksibel dan diterima sosial.
3. Menerapkan pengetahuan atau pengalaman dalam konteks yang baru.
4. Menunjukkan sikap kreatif dalam menyelesaikan masalah (ide, gagasan di luar kebiasaan).
Sementara itu Masrun, dkk (2006) menyatakan bahwa kemandirian ditunjukkan dalam beberapa bentuk, yaitu :
1. Tanggungjawab, yaitu kemampuan memikul tanggungjawab, kemampuan untuk menyelesaikan suatu tugas, mampu mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, kemampuan menjelaskan peranan baru, memiliki prinsip mengenai apa yang benar dan salah dalam berpikir dan bertindak.
2. Otonomi, ditunjukkan dengan mengerjakan tugas sendiri, yaitu suatu kondisi yang ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri dan bukan orang lain dan tidak tergantung pada orang lain dan memiliki rasa percaya diri dan kemampuan mengurus diri sendiri.
3. Inisiatif
Insiatif ditunjukkan dengan kemampuan berpikir dan bertindak secara kreatif.
4. Kontrol diri
Kontrol diri yang kuat ditunjukkan dengan pengendalian tindakan dan emosi mampu mengatasi masalah dan kemampuan melihat sudut pandang orang lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik kemandirian anak adalah kemandirian emosional, tingkah laku dan kemandirian nilai.
2.3.3 Manfaat Kemandirian
Manfaat kemandirian adalah menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab yang lebih besar dalam membuat pelajaran menjadi bermakna terhadap dirinya sendiri, menumbuhkan rasa lebih penasaran untuk mencoba hal-hal baru dan siswa akan memandang permasalahan sebagai tantangan yang baru dihadapi, minat belajar terus berkembang dan pembelajaran lebih menyenangkan dan mereka menjadi lebih termotivasi dan gigih, mandiri, disiplin diri, percaya diri dan berorientasi pada tujuan (Abdullah, 2004).
2.2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian
Kemandirian anak dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor yaitu faktor internal (dari dalam individu) dan faktor eksternal (dari luar individu) yang diuraikan sebagai berikut :
1. Faktor internal terdiri dari :
a. Kondisi Fisiologis
Ada beberapa kondisi fisiologis yang mempengaruhi kemandirian anak diantaranya :
1) Keadaan tubuh dan kesehatan jasmani
Pada umumnya anak yang sakit lebih bersikap tergantung daripada anak yang sehat.
2) Jenis kelamin
Pada anak perempuan terdapat dorongan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada orangtuanya, akan tetapi karena statusnya sebagai anak perempuan mereka dituntut untuk bersikap pasif, berbeda dengan anak laki-laki yang agresif dan ekspansif.
b. Kondisi Psikologis
Kecerdasan atau kemampuan kognitif berpengaruh terhadap pencapaian kemandirian seorang anak. Hal ini terjadi karena kemampuan bertindak dan mengambil keputusan hanya bisa dilakukan oleh anak yang mampu berpikir dengan seksama.
2. Faktor eksternal.
Faktor eksternal meliputi :
a. Lingkungan
Lingkungan dapat mempengaruhi kemandirian anak. Lingkungan yang baik dapat mendorong tercapainya kemandirian. Lingkungan yang paling berperan dalam hal ini adalah keluarga.
b. Rasa cinta dan kasih sayang
Rasa cinta dan kasih sayang orangtua kepada anaknya dapat mempengaruhi mutu kemandirian anak. Apabila rasa cinta dan kasih sayang diberikan secara berlebihan, anak akan menjadi kurang mandiri.
c. Pola asuh orangtua dalam keluarga
Pembentukan karakter kemandirian tidak lepas dari peran orangtua dan pengasuhan terhadap anaknya. Toleransi yang berlebihan, pemeliharaan yang berlebihan atau orangtua yang terlalu keras terhadap anaknya dapat menghambat pencapaian kemandirian anak tersebut.
d. Pengalaman dalam kehidupan
Pengalaman kehidupan anak yang dapat mempengaruhi kemandirian meliputi pengalaman di lingkungan sekolah dan pengalaman di lingkungan masyarakat. Di lingkungan sekolah terdapat hubungan antarteman sebaya dan juga hubungan dengan guru yang berpengaruh terhadap kemandirian (Wiyani, 2014).
Pendapat lain mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian yang dapat dibedakan dari dua arah, yaitu :
1. Faktor dari dalam
Faktor dari dalam dari anak antara lain faktor kematangan usia dan jenis kelamin. Di samping itu intelegensi anak juga berpengaruh terhadap kemandirian anak.
2. Faktor dari luar
Adapun faktor dari luar yang mempengaruhi kemandirian anak adalah :
a. Kebudayaan, masyarakat yang maju dan kompleks tuntutan hidupnya cenderung mendorong tumbuhnya kemandirian dibanding dengan masyarakat yang sederhana.
b. Keluarga, meliputi aktifitas pendidikan dalam keluarga,kecendrungan cara mendidik anak, cara memberikan penilaian kepada anak bahkan sampai cara hidup orangtua berpengaruh terhadap kemandirian anak.
c. Sistem pendidikan di sekolah
Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokrasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian sebagai siswa.
d. Sistem kehidupan di masyarakat
Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hirarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian (Thoha C., 2000).
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah faktor internal dan faktor eksternal.
2.3. Konsep Bermain Clay
2.3.1. Pengertian Bermain Clay
Elisabeth Hurlock (1978) mengartikan bermain sebagai kegiatan yang dilakukan demi kesenangan tanpa mempertimbangkan hasil akhir dan dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak luar (Susilaningsih, 2015). Sedangkan pendapat lain mengartikan bermain adalah kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat, yang menghasilkan pengertian dan memberikan informasi, memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak (Triharso, 2013).
Hal senada juga dikemukan Joan dan Utami bahwa bermain adalah suatu aktivitas yang membantu dapat anak mencapai perkembangan yang utuh dalam aspek fisik, intelektual, sosial, emosional dan moral. Dengan bermain anak dapat memperoleh pengalaman untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak sehingga tepat digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran. Melalui bermain, anak belajar tentang hal-hal yang diperlukan untuk perkembangannya (Yus, 2011). Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak akan berkata-kata, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukan dan mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, 2009).
Menurut kelompok belajar BB Clay Designs, arti kata clay adalah tanah liat (Rochayah, 2012). Dalam perkembangannya, istilah clay digunakan dalam menyebut adonan yang menyerupai tanah liat atau clay buatan. Namun clay dalam penelitian dibuat dengan bahan tepung, air dan zat pewarna makanan yang aman untuk anak (Wahyuningsih, 2012). Menurut Kearns (2004) dalam Muscari (2005) dikemukakan bahwa permainan clay merupakan jenis permainan meremas dan membentuk clay yang membantu anak melatih kemampuan motorik halusnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bermain clay adalah kegiatan dengan memakai tanah liat yang dilakukan demi kesenangan dan dilakukan secara suka rela yang merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial.
2.3.2. Fungsi Dan Tujuan Bermain Pada Anak
Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensorik-motorik, membantu perkembangan kognitif/intelektual, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi, yang diuraikan sebagai berikut :
1. Perkembangan sensorik-motorik
Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensorik motorik merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot sehingga kemampuan penginderaan anak mulai meningkat dengan adanya stimulasi-stimulasi yang diterima anak seperti: stimulasi visual (penglihatan), stimulasi audio (pendengaran), stimulasi taktil (sentuhan) dan stimulasi kinetik.
2. Perkembangan intelektual (Kognitif)
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Saat bermain, anak akan mencoba melakukan komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dengan kenyataan dan berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan sehingga fungsi bermain pada model demikian akan meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya.
3. Perkembangan sosialisasi
Perkembangan sosial ditandai dengan anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak mengembangkan hubungan sosial, belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Contoh pada anak-anak usia todler yang bermain dengan teman sebayanya dan bentuk permainannya adalah bermain peran seperti menjadi guru, menjadi ayah atau ibu, menjadi anak dan lain-lain. Ini merupakan tahap awal bagi anak usia todler dan pra sekolah untuk meluaskan aktivitas sosialnya di luar lingkungan keluarga.
4. Perkembangan kreativitas
Bermain dapat meningkatkan kreativitas yaitu anak mulai menciptakan sesuatu dan mewujudkannya ke dalam bentuk objek atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-idenya, misalnya dengan membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang kreativitasnya untuk semakin berkembang.
5. Perkembangan kesadaran diri
Anak yang bermain akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenali kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain.
6. Perkembangan moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari orangtua dan guru. Anak yang melakukan aktivitas bermain akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima dilingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya. Bermain juga dapat membantu anak belajar mengenai nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta belajar bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukannya. Permainan adalah media yang efektif untuk mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan memberikan nasihat. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk mengawasi anak saat anak melakukan aktivitas bermain dengan mengajarkan nilai moral, seperti baik atau buruk, benar atau salah.
7. Bermain sebagai terapi
Bermain mempunyai nilai terapeutik, bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya (Soetjiningsih, 2015).
Pendapat lain menyatakan bahwa dalam kegiatan bermain terdapat berbagai kegiatan yang memiliki dampak terhadap perkembangannya sehingga dapat diidentifikasi bahwa fungsi bermain, antara lain:
1. Dapat memperkuat dan mengambangkan otot dan koordinasinya melalui gerak, melatih motorik halus, motorik kasar dan keseimbangan karena ketika bermain fisik anak juga belajar memahami bagaimana kerja tubuhnya.
2. Dapat mengembangkan keterampilan emosinya, asa percaya diri pada orang lain, kemandirian dan keberanian untuk berinisiatif karena saat bermain anak sering bermain pura-pura menjadi orang lain, binatang atau karakter orang lain.
3. Dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya karena melalui bermain anak sering kali melakukan eksplorasi terhadap segala sesuatu yang ada dilingkungan sekitarnya sebagai wujud dari rasa keingintahuannya.
4 Dapat mengembangkan kemandirianya dan menjadi dirinya sendiri karena melalui bermain anak selalu bertanya, meneliti lingkungan, belajar mengambil keputusan dan berlatih peran sosial sehingga anak menyadari kemampuan serta kelebihannya (Sujiono, 2010).
Agar fungsi bermain dapat terlaksana dengan baiK, Jeffree dalam Sujiono (2010) menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) karakteristik kegiatan bermain pada anak yang perlu dipahami oleh stimulator, yaitu :
1. Bermain datang dari dalam diri anak artinya, keinginan bermain harus muncul dari dalam diri anak sehingga anak dapat menikmati dan bermain sesuai dengan caranya sendiri.
2. Bermain harus terbebas dari aturan yang mengikat, karena bermain adalah suatu kegiatan untuk dinikmati, anak memiliki cara bermainnya sendiri.
3. Bermain adalah aktivitas nyata atau sesungguhnya, oleh karenanya bermian melibatkan partisipasi aktif baik secara fisik maupun mental, seperti pada saat bereksplorasi dengan bermain air.
4. Bermain fokus pada proses dari pada hasil artinya, dalam bermian anak mengenal dan mengetahui apa yang ia mainkan dan mendapatkan keterampilan baru.
5. Bermain didominasi oleh pemain di mana, pemainnya adalah anak itu sendiri, bukan didominasi oleh orang dewasa.
6. Bermain melibatkan pemain secara aktif, artinya anak sebagai pemain harus terjun langsung dalam bermain. Jika anak pasif dalam bermain maka ia tidak akan memperoleh pengalaman baru karena bagi anak bermain adalah bekerja untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Musfiroh (2005) mengemukakan bahwa bermain memiliki arti penting bagi anak. Adapun tujuan bermain antara lain adalah :
1. Menurut Bredekamp dan Copple (1997), bermain membantu anak membangun konsep dan pengetahuan. Anak-anak tidak membangun konsep/pengetahuan dalam kondisi yang terisolasi, melainkan melalui interaksi dengan orang lain.
2. Bermain membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. Proses terjadi ketika anak bermain peran atau pura-pura. Vygotsky menjelaskan bahwa anak sebernarnya belum mampu berpikir abstrak. Karena anak masih belajar memahani perspektif orang lain, strategi bermain dengan orang lain dan memecahkan masalahnya.
3. Bermain mendorong anak untuk berpikir kreatif. Karena dalam bermain anak dapat memilih sendiri kegiatan yang anak sukai, belajar mengidentifikasi banyak hal, belajar mengontrol diri sediri dan belajar untuk bersosialisasi dan keberadaan diri di antara teman sebaya.
4. Bermain meningkatkan kompetensi sosial anak
Menurut Catron dan Allen (1999), bermain mendukung perkembangan sosialisasi dalam hal-hal berikut :
a. Interaksi sosial, yaitu interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa dan memecahkan konflik.
b. Kerjasama yakni interaksi saling membantu, berbagi dan pola pergiliran.
c. Menghemat sumber daya, yakni menggunakan dan menjaga benda-benda dan lingkungan secara tepat.
d. Peduli dengan orang lain seperti memahami dan menerima perbedaan individu, memahami masalah multi budaya.
5. Bermain membantu anak mengenali diri mereka sendiri. Melalui bermain memberikan kesepatan pada anak untuk menjadi diri sendiri, mengenal diri sendiri untuk membentuk desain kehidupan yang lebih baik. Karena melalui bermain anak dapat memperoleh pengalaman bermain yang dapat bermakna untuk kehidupannya.
6. Bermain membantu anak mengatur/mengontrol gerak motorik. Anak-anak melalui bermain dapat mengontrol gerak motoriknya baik motorik kasar maupun halus. Anak usia 5-6 tahun perlu bermain yang aktif baik untuk keterampilan motorik kasar ataupun halus.
Erfandi (2009) dalam Agustina (2013) menyatakan bahwa melalui kegiatan bermain, anak juga akan belajar nilai moral dan etika serta belajar bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukannya. Misalnya merebut mainan teman merupakan perbuatan yang tidak baik dan membereskan alat permainan sesudah bermain adalah membelajarkan anak untuk bertanggungjawab terhadap tindakan serta barang yang dimilikinya. Melalui bermain, anak akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya sehingga temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri bahwa perilakunya menyakiti teman.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bermain clay adalah dapat merangsang perkembangan sensorik-motorik, membantu perkembangan kognitif/intelektual, perkembangan sosial dan kesadaran diri, perkembangan kreativitas, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi, sementara tujuan bermain adalah untuk membangun konsep pengetahuan anak, untuk mendorong anak berpikir abstrak dan kreatif, untuk membangun kompetensi sosial, untuk membantu mengenali diri anak serta dapat membantu mengatur gerakan motorik anak.
2.3.3. Ciri-ciri Bermain
Menurut beberapa ahli kegiatan bermain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bermain selalu menyenangkan (pleasurable) dan menikmatkan atau menggembirakan (enjoyable). Maksudnya suatu kegiatan dapat disebut bermain apabila anak-anak merasa senang saat melakukan aktivitas tersebut.
2. Bermain tidak bertujuan ekstrinsik, motivasi bermain adalah motivasi instrinsik. Bermain dilakukan bukan karena tugas dari orang lain melainkan anak sendiri yang ingin melakukannya.
3. Bermain bersifat spontan dan suka rela
Bermain dilakukan oleh anak dengan suka rela tanpa paksaan. Anak sendirilah yang menentukan kegiatan yang akan dilakukan.
4. Bermain melibatkan peran aktif semua peserta
Maksudanya dalam bermain melibatkan semua anak sesuai dengan peran dan giliran masing-masing.
5. Bermain bersifat nonliteral, pura-pura/tidak senyatanya
Maksudnya kegiatan bermain mempunyai kerangka sendiri yang memisahkan dari kehidupan nyata (realitas). Kualitas pura-pura memungkinkan anak bereksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan baru.
6. Bermain tidak memiliki kaidah ekstrinsik
Artinya kegiatan bermain memiliki aturan sendiri yang ditentukan oleh pemainnya serta disesuaikan pada kebutuhan.
7. Bermain bersifat aktif
Maksudnya semua kegiatan bermain menuntut keaktifan anak yang bermain. Anak yang sedang bermain, bersama-sama memilirkan, mengorganisasikan, merencanakan dan berinteraksi dengan lingkungan.
8. Bermain bersifat fleksibel
Maksudnya anak dapat dengan bebas memilih dan beralih ke kegiatan bermain yang mereka inginkan (Musfiroh, 2005).
2.3.4. Pedoman Keamanan Bermain Pada Anak
Agar anak-anak dapat bermain dengan maksimal, maka diperlukan pedoman keamanan bagi anak agar dapat bermain seperti :
1. Energi ekstra/ tambahan
Bermain memerlukan energi tambahan, dimana anak yang sakit, tidak memiliki energi yang banyak untuk bermain sehingga permainan yang dianjurkan yaitu permainan yang tidak memerlukan banyak energi.
2. Waktu
Anak harus mempunyai waktu yang cukup untuk bermain sehingga stimulus yang diberikan dapat optimal.
3. Alat permainan
Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan umur dan taraf perkembangan anak.
4. Ruang untuk bermain
Bermain dapat dilakukan dimana saja, di ruang tamu, halaman, bahkan di tempat tidur.
5. Pengetahuan cara bermain
Dengan mengetahui cara bermain maka anak akan lebih terarah dan pengetahuan anak akan lebih berkembang dalam menggunakan alat permainan tersebut.
6. Teman bermain
Teman bermain diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan membantu anak dalam menghadapi perbedaan. Bila permainan dilakukan bersama dengan orangtua, maka hubungan orangtua dan anak menjadi lebih akrab (Soetjiningsih, 2015).
2.3.5. Manfaat Bermain Clay
Bermain bermanfaat untuk menstimulasi kemampuan sensori-motorik, kognitif, sosial-emosional dan bahasa anak. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk belajar, terutama dalam hal penguasaan tubuh, pemecahan masalah dan kreativitas. Perkembangan sensoris-motorik sangat penting untuk perkembangan fungsi otot (Hardjadinata, 2009). Bainbridge (1996) menjelaskan bahwa bermain clay membantu dalam mengasah kemampuan otak kanan dalam berkreatifitas, meningkatkan daya imajinasi dan melatih kerja saraf motorik anak (Suryani, 2011).
Pendapat lain mengemukakan bahwa manfaat bermain pada masing-masing aspek perkembangan anak, adalah :
1. Bermain mengembangkan kemampuan motorik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bermain mampu mengembangkan kemampuan motorik anak karena memungkinkan anak untuk bergerak bebas. Menurut Piaget anak terlahir dengan gerak reflek dan kemudian akan berkembang untuk menggabungkan dua atau lebih gerak refleks, dan pada akhirnya anak akan mampu untuk mengontrol gerakannya.
2. Bermain mengembangkan kemampuan kognitif
Piaget berpendapat bahwa anak membangun pengetahuannya melalui berinteraksi dengan objek yang ada di sekitarnya. Melalui bermain anak akan dapat menggunakan seluruh indera yang dimilikinya. Dari penginderaan yang dilakukannya anak akan dapat meperole informasi, penglaman dan fakta-fakta yang akan menjadi dasar untuk berfikir abstrak anak. Penelitian Hoorn menyatakan bahwa bermain memiliki peran yang penting untuk mengembangkan kemampuan berfikir logis, imajinasi dan kreativitas.
3. Bermain mengembangkan kemampuan afektif
Bermain akan berpengaruh dalam pembentukan moral anak. Ketika bermain anak akan mengenal adanya aturan permainan yang harus ditaati. Anak akan menyadari pula bahwa dalam bermain anak perlu menghargai teman-temannya.
4. Bermain mengembangkan kemampuan bahasa
Ketika bermain, anak akan mengembangkan kemampuan berbahasanya karena anak menggunakannya untuk berkomunikasi dan menyatakan pikirannya. Vygotsky berpendapat bahwa ketika anak berbicara sendiri menunjukkan bahwa anak sedang dalam tahap menggabungkan pikirannya dan bahasa sebagai satu kesatuan.
5. Bermain mengembangkan kemampuan sosial
Bermain merupakan kegiatan yang dapat merangsang emosi, sosial, daya pikir, fantasi serta imajinasinya. Dalam Harun Rasyid, dkk (2009) disebutkan bahwa bermain merupakan wahana untuk menemukan dan mengenali diri sendiri dan lingkungannya. Melalui bermain, anak dapat membangun konsep, meningkatkan kemampuan kognitif dan sosial emosional serta memberikan kesempatan anak untuk bereksperimen dan bereksplorasi (Septikasari, 2015).
Joan Freeman dan Utami Munandar menyebutkan beberapa ahli psikologi dan sosiologi mengemukakan manfaat bermain sebagai berikut :
a. Sebagai penyalur energi berlebih yang dimiliki anak
Anak mempunyai energi berlebih karena terbebas dari segala macam tekanan, baik tekanan ekonomis maupun sosial sehingga anak mengungkapkan energinya melalui bermain (Sciller & Spericer).
b. Sebagai sarana untuk menyiapkan hidupnya kelak dewasa
Melalui bermain anak menyiapkan diri untuk kehidupan kelak jika dewasa misalnya melalui bermain peran secara tidak sadar ia menyiapkan diri untuk peran /pekerjaan di masa depan (Karl Groos).
c. Sebagai pelanjut citra kemanusiaan
Melalui bermain anak melewati tahap-tahap perkembangan yang sama dari pekerjaan sejarah umat manusia (teori rekapitulasi). Misalnya seperti berlari, memanjat.
d. Untuk membangun energi yang hilang
Bermain merupakan medium untuk menyegarkan badan kembali (revitalisasi) setelah bekerja selama berjam jam (Lazarus).
e. Untuk memperoleh kompensasi atas hal hal yang tidak diperolehnya
Melalui bermain anak dapat memuaskan keingingannya yang terpendam atau tertekan.
f. Bermain memungkinkan anak untuk dapat melepaskan perasaan dan emosinya yang dalam realitas tidak dapat diungkapkan.
g. Memberi stimulus dalam pembentukan kepribadian
Kepribadian terus berkembang dan untuk pertumbuhan normal perlu ada rangsangan dan bermain memberikan stimulus ini untuk pertumbuhan (Appleton) (Andang, 2009).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat bermain clay bagi anak-anak adalah sebagai penyalur energi, menyiapkan diri untuk kehidupan kelak dan memberi stimulus dalam pembentukan kepribadian anak.
2.3.6. Evaluasi Kegiatan Bermain Clay
Evaluasi perlu dilaksanakan agar guru TK mendapatkan umpan balik tentang kualitas keberhasilan dalam kegiatan bermain. Alasan dari evaluasi bermain tersebut adalah :
1. Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan belajar melalui bermain. Evaluasi membantu kita untuk mengetahui apakah tujuan kegiatan belajar yang telah dirancang cukup baik atau tidak.
2. Tujuan-tujuan didasarkan pada pengharapan. Setiap orang mempunyai ukuran bagi diri sendiri dan orang lain. Ukurang harapan pada anak TK tidak sama dengan tuntutan pada anak dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
3. Evaluasi menentukan tingkat pencapaian harapan. Melalui evaluasi, kita menguji apakan tujuan yang ingin dicapai itu telah terpenuhi atau belum. Kriteria pencapai tujuan dapat ditetapkan secara sederhana atau lebih rumit (Djoehaeni, 2017).
2.3.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktifitas Bermain
Ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi aktifitas bermain pada anak. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Tahap perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak yaitu sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangannya. Tentunya permainan anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah, demikian juga sebaliknya, karena pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Status kesehatan anak
Aktivitas bermain memerlukan energi, namun bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa, yang penting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak sedang terkena sakit, bahkan dirawat di rumah sakit, orangtua dan perawat harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang dirawat di rumah sakit.
3. Jenis kelamin anak
Dalam melakukan aktivitas bermain tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, semua alat permainan dapat digunakan oleh anak laki-laki atau anak perempuan untuk mengembangkan daya pikir, imajinasi, kreativitas dan kemampuan sosial anak. Ada pendapat lain yang menyakini bahwa permainan adalah salah satu alat untuk membantu anak mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini dilatar-belakangi oleh adanya alasan tuntutan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan hal ini dipelajari melalui media permainan.
4. Lingkungan yang mendukung
Fasilitas bermain lebih diutamakan yang dapat menstimulasi imajinasi dan kreativitas anak. Keyakinan keluarga tentang moral dan budaya juga mempengaruhi bagaimana anak dididik melalui permainan, sementara lingkungan fisik sekitar rumah lebih banyak mempengaruhi ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik dan motorik.
5. Alat dan jenis permainan yang cocok
Alat dan jenis permainan dipilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Label yang tertera pada mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan tersebut aman dan sesuai dengan usia anak. Alat permainan yang harus didorong, ditarik dan dimanipulasi akan mengajarkan anak untuk mengembangkan kemampuan koordinasi gerak (Supartini, 2004).
Pendapat lain mengemukakan bahwa jika diamati secara cermat, ada berbagai variasi kegiatan bermain yang dilakukan anak dan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Kesehatan
Anak yang sehat cenderung akan memilih berbagai jenis kegiatan bermain aktif daripada pasif, karena banyaknya energi yang dimiliki anak, membuatnya lebih aktif dan ingin menyalurkan energinya tersebut. Sementara anak yang kurang sehat akan mudah lelah ketika bermain sehingga lebih menyukai bermain pasif karena tidak membutuhkan banyak energi.
2. Perkembangan motorik
Kegiatan bermain aktif lebih banyak menggunakan keterampilan motorik terutama motorik kasar. Sedangkan bermain pasif kurang melibatkan keterampilan dan koordinasi motorik. Dengan demikian anak yang memiliki keterampilan motorik yang baik akan lebih banyak memilih kegiatan bermain aktif dan begitu pula sebaliknya anak yang kurang terampil motoriknya cenderung memilih kegiatan bermain yang pasif.
3. Inteligensi
Anak yang memiliki inteligensi yang baik (pandai/cerdas) cenderung akan menyukai baik kegiatan bermain aktif maupun pasif. Karena biasanya anak yang pandai akan lebih aktif daripada anak yang tidak pandai. Anak yang pandai juga akan lebih kreatif dan penuh rasa ingintahu, sehingga mereka suka dengan permainan yang membutuhkan kemampuan problem solving (misalnya puzzle) melibatkan daya fantasi dan imajinasi (drama), permainan konstruktif (lego, balok) juga permainan membaca buku dan musik.
4. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam memilih kegiatan bermain. Perbedaan ini terjadi karena secara alamiah dan ditentukan secara genetik. Tetapi juga dapat muncul juga karena adanya perbedaan perlakuan yang diterima oleh anak laki-laki dan anak permpuan sejak mereka bayi. Anak laki-laki cenderung menyukai kegiatan bermain aktif tetapi anak perempuan menyukai permainan konstruktif dan permainan lainnya yang bersifat “tenang”. Berbagai kecenderungan ini bersifat umum dan belum tentu terjadi pada setiap anak, karena pasti akan terjadi perbedaan-perbedaan pada setiap individu mengingat manusia adalah mahluk yang unik.
5. Lingkungan dan taraf sosial ekonomi
Lingkungan dan taraf sosial ekonomi akan mempengaruhi jenis kegiatan bermain dan alat permainan yang digunakan oleh anak. Anak kota dengan anak desa menggunakan alat permainan yang berbeda , misal anak kota biasa bermain dengan mobil-mobilan bertenaga baterai, komputer dan video games, sedangkan anak desa bermain dengan mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk bali, serta bermain dengan daun, ranting kayu, kerikil dan bahan alam lainnya.
6. Alat permainan
Ketersediaan berbagai alat permainan yang dimiliki anak mempengaruhi jenis kegiatan bermain. Perlu kiranya disediakan berbagai variasi alat permainan anak sehingga memungkinkan anak untuk bermain dengan berbagai cara dan jenis permainan. Hal ini akan berdampak positif bagi semua aspek perkembangannya (Hurlock, 2005) .
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas bermain adalah tahap perkembangan anak, status kesehatan anak, jenis kelamin anak, lingkungan yang mendukung dan alat dan jenis permainan yang cocok.
2.3.8. Jenis-Jenis Clay
Jenis-jenis clay yang sudah beredar di Indonesia diantaranya adalah :
1. Lilin Malam
Salah satu jenis clay yang sangat disukai oleh anak-anak. Anak-anak menyukainya karena bentuk akhirnya tetap lunak sehingga dapat diolah kembali menjadi bentuk yang lain. Mereka juga bisa menggunakan berbagai cetakan yang banyak dijual di toko buku dan toko mainan untuk membantu mengolah adonan yang terdiri dari berbagai macam warna ini.
2. Jumping Clay
Memiliki bentuk seperti adonan kue dan setelah kering tidak dapat dibentuk lagi. Oleh karena itu, adonan yang mudah kering ini biasanya dijual di dalam kantong yang kedap udara. Hasil akhir dari adonan yang tidak lengket di tangan ini akan sangat ringan seperti gabus. Hal ini membuat adonan ini sangat cocok untuk dibentuk menjadi gantungan handphone, boneka-boneka hewan dan manusia kecil.
3. Plastisin Clay
Memiliki keunikan tersendiri dibandingkan clay lainnya. Keunikannya adalah kita dapat membuatnya sendiri di rumah dengan menggunakan campuran tepung terigu dan lem kayu. Selanjutnya, hasil campurannya diberi warna dan baru setelah itu kita membentuknya. Hasil akhirnya hampir sama dengan lilin malam, tetapi bentuknya lebih mantap dan tidak ringan. Adonan yang terbuat dari tepung ini juga tidak dapat diolah lagi menjadi bentuk yang lain.
4. Polymer Clay
Merupakan jenis clay yang paling mahal dan paling sulit pembuatannya karena setelah dibentuk harus dipanggang di oven dengan suhu temperatur sekitar 120 derajat celcius sampai 160 derajat celcius selama 10 menit. Proses pembakarannya harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati karena hasilnya bisa gosong atau lembek. Jika kita berhasil memanggangnya dengan baik, adonan ini akan berubah menyerupai kayu, batu alam atau metal (Sandra-clay.blogspot.co.id, 2017).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa jenis-jenis bermain clay adalah lilin malam, jumping clay, plastisin clay dan polymer clay.
2.4. Pengembangan Media Bermain Clay Model Thiagarajan
Untuk pengembangan media bermain clay, peneliti menggunakan model Thiagarajan dan Semmel. Model Thiagarajan (1974) terdiri dari empat tahap yang dikenal dengan model 4-D (four D model). Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tahap pendefenisian
Tujuan tahap ini adalah untuk mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan pembelajaran dengan menganalisis tujuan dan batasan materi. Adapun tahap pendefinisian pada penelitian ini terdiri dari lima langkah yaitu :
a. Analisis awal-akhir (front-end-analysis)
Kegiatan analisis awal-akhir dilakukan untuk menetapkan masalah dasar yang diperlukan dalam pengembangan bahan pembelajaran. Pada tahap ini dilakukan telaah terhadap kurikulum TK ABA Melati Medan, tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dalam kurikulum AUD kemudian menelusuri berbagai teori belajar yang sesuai kemudian mempelajari tuntutan masa depan yang akan dihadapi dalam pendidikan anak usia dini sehinggga diperoleh deskripsi pembelajaran yang tepat.
b. Analisis anak didik (learner analysis)
Kegiatan analisis anak didik yaitu telaah tentang karakteristik anak didik yang sesuai dengan rancangan dan pengembangan media pembelajaran. Hal yang ditelaah meliputi latar belakang pengetahuan, perkembangan dan pengalaman anak.
c. Analisis konsep (consept analysis)
Kegiatan analisis konsep bertujuan untuk mengidentifikasi, merinci dan menyusun secara sistematif, konsep-konsep yang relevan akan diajarkan pada anak didik berdasarkan analisis awal-akhir.
d. Analisis tugas (task analysis)
Kegiatan analisis tugas merupakan kegiatan mengidentifikasi peningkatan pemahaman konsep ukur dan kemandirian anak sesuai dengan kurikulum. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peningkatan pemahaman konsep ukur dan kemandirian anak yang akan dikembangkan dalam pembelajaran.
e. Spesifikasi tujuan pembelajaran (specifying instrucsional objetive)
Spesifikasi tujuan pembelajaran untuk mengkonversi tujuan dari analisis tugas dan analisis konsep untuk menjadi tujuan pembelajaran khusus yang dinyatakan dengan tingkah laku. Perincian tujuan pembelajaran khusus ini adalah dasar untuk menyusun hasil tes belajar dan mengembangkan media bermain clay.
Kelima kegiatan ini diuraikan pada gambar 2.1 di bawah berikut ini :
Front-end analysis
|
Learner analysis
|
task analysis
|
consept analysis
|
specifying instrucsional objetive
|
Gambar 2.1
Tahap Pendefinisian (define) Dalam Model 4-D
2. Tahap Perancangan (design)
Tahap perancangan ini bertujuan merancang media pembelajara yaitu media bermain clay. Tahap dimulai setelah menetapkan tujuan pembelajaran khusus. Tahap perancangan terdiri dari empat langkah pokok yaitu penyusunan tes, pemilihan media, pemilihan format dan perancangan awal (desain awal).
a. Penyusunan tes (criteria test contruction)
Penyusunan tes dilakukan atas dasar analisis tugas dan analisis konsep yang dijabarkan dalam spesifikasi tujuan pembelajaran. Tes yang dimaksud adalah tes hasil belajar untuk meningkatkan pemahaman konsep ukur dan kemandirian anak.
b. Pemilihan media (media selection)
Pemilihan media dimaksudkan untuk menentukan model bermain clay yang tepat dalam pembelajaran. Pemilihan media ini melalui proses analisis tugas, analisis konsep dan karakteristik anak didik.
c. Pemilihan format (format selection)
Kegiatan pemilihan format pengembangan media bermain clay ini meliputi format untuk merancang isi, pemilihan alat peraga dan jenis buku.
d. Perancangan awal (initial design)
Rancangan awal ini adalah rancangan seluruh kegiatan yang dilakukan sebelum uji coa dilakukan. Rancangan awal media bermain clay ini melibatkan anak didik dan guru yaitu awal rencana pembelajaran, media bermain clay, tes hasil belajar dan instrumen penelitian, lembar observasi anak, lembar observasi pengelolaan pembelajaran, angket respon anak dan lembar validasi media bermain clay.
3. Tahap Pengembangan
Tahap pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan draft media bermain clay, peningkatan pemahaman konsep ukur dan kemandirian anak berdasarkan masukan para ahli dan data yang diperoleh dari uji coba. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah penilaian para ahli dan uji coba lapangan.
a. Penilaian para ahli (expert appraisal)
Penilaian para ahli meliputi validasi isi (content validity) yang mencakup media bermain clay yang dikembangkan pada tahap perancangan (design). Kemudian hasil validasi digunakan sebagai dasar melakukan revisi dan penyempurnaan media bermain clay.
b. Uji coba lapangan (development testing)
Uji coba lapangan dilakukan untuk mendapatkan masukan langsung dari lapangan terhadap media bermain clay, peningkatan pemahaman konsep ukur dan kemandirian anak berimbang yang telah disusun. Dalam uji coba dilakukan pencatatan terhadap semua respon, reaksi, komentar guru, anak dan pengamat.
4. Tahap desiminasi (Disseminate)
Penyebaran dilakukan pada guru-guru untuk dapat menggunakan media bermain clay untuk meningkatkan pemahaman konsep ukur dan kemandirian anak. Pada tahap ini ada tiga langkah yang dilakukan, yaitu :
a. Uji validasi
Media bermain clay digunakan dalam pembelajaran di kelas.
b. Pengemasan
Dilakukan pemilihan prosedur dan disributor yang akan mengemas media bermain clay dalam bentuk yang diterima oleh pengguna.
c. Media bermain clay disebarkan dan diadopsi oleh pengguna
Pada tahap ini, media bermain clay akan disebarkan pada skala yang lebih luas misalnya guru lain. Tahap ini juga bertujuan untuk menguji efektifitas penggunaan media bermain clay dalam kegiatan belajar mengajar. Tahap diseminasi dapat terlihat dalam gambar berikut ini.
Development Testing
|
Validation Testing
|
Packing
|
Diffusion and adoption
|
Stage IV
Disseminate
|
Gambar 2.2
Tahap Penyebaran (Disseminate) Dalam Model 4-D
Pengembangan media bermain clay model 4-D (four D model) yang dikemukakan oleh Thiagarajan (1974) ini dianggap sangat sesuai untuk mengembangkan media pembelajaran. Dengan beberapa tahapan yang dilakukan, diharapkan mampu menciptakan suatu media pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam memberikan pelajaran sesuai dengan tujuan dan manfaat, memiliki metode dan media yang tepat serta evaluasi yang baik. Dengan demikian peningkatan pemahaman konsep ukur dan kemandirian anak dapat berkembang lebih baik.
Pemahaman Konsep ukuran (Y1)
Bermain Clay (X)
|
Kemandirian Anak (Y2)
|
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
2.6. Hipotesa Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Hipotesis sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji (Noor, 2011). Dari pendapat tersebut maka hipotesa dalam penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh yang signifikan antara bermain clay terhadap peningkatan konsep ukuran.
2. Ada pengaruh yang signifikan antara bermain clay terhadap kemandirian anak.
REFERENSI
Agustina, I. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan. Medan: USU Fakultas Keperawatan.
Ali, M., & Asrori, M. (2011). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Andang, I. (2009). Education Games (Menjadi cerdas dan ceria dengan permainan edukatif). Yogyakarta: Pilar Media.
Chaplin, J. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Diterjemahkan: Kartini Kartono. Jakarta: PT Radja Grafindo.
Ernawati. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMU Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: Skripsi FMIPA UPI.
Fatimah, E. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Gea, A. A. (2002). Relasi dengan Diri Sendiri : Modul Character Building I. Jakarta: PT. Gramedia.
Hamalik, O. (2013). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hardjadinata, Y. (2009). Batitaku Mandiri. Jakarta: Dian.
Hasan, A. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka.
Hurlock, E. B. (2005). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Musfiroh, T. (2005). Bermain Sambil Belajar dan Mengasah Kecerdasan. Jakarta: Depdiknas.
Noor, J. (2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Prenada Media Group.
Patria. (2007). Teknik Probing Dalam Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa SMP. Bandung: Skripsi FPMIPA UPI .
Rochayah, S. (2012). Meningkatkan Kreativitas Anak Melalui Metode Bermain Plastisin Pada Siswa Kelompok B TK Masyithoh 02 Kawunganten Cilacap Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012. Purwokerto: Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Sandra-clay.blogspot.co.id. (2017). Creativities Art with Clay. Retrieved Januari 5, 2017, from http://sandra-clay.blogspot.co.id/.
Sasriani. (2015). Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Learning Start With A Question Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa MTs Mu' . Pekan Baru Riau: Skripsi Fakultas Tarbiyan dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Septikasari, F. R. (2015). Peningkatan Pemahaman Konsep Ukuran Melalui Kegiatan Bermain Pasir Menggunakan Neraca Sederhana Pada Kelompok A Ra Nurul Ummah Karangduwet Mojayan Klaten Tengah. Yogyakarta: Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Soetjiningsih, G. R. (2015). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York: McGraw Hill. Inc.
Sudiyono, A. (2009). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sujiono, Y. N. (2010). Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. Jakarta: PT. Indeks.
Sukmadinata, N. S. (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Suryani. (2011). Retrieved from https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1102106035-3-14%20BAB%20II.pdf.
Susilaningsih, B. (2015). Peningkatan Keterampilan Motorik Halus Melalui Bermain Bubur Kertas Di Kelompok B TK ABA Koripan Srandakan Bantul. Yogyakarta: Skrispi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Thoha, C. (2000). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Thoha, M. (1996). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Triharso, A. (2013). Permainan Kreatif Dan Edukatif Untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Uno, H. B. (2010). Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis Di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahyuningsih, A. N. (2012). Peningkatan Kemampuan Menyimak Cerita Melalui Media Wayang Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD Negeri Tambak Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali Tahun Ajaran 2011/2012. Surakarta: Skripsi UMS.
Wiyani, N. A. (2014). Bina karakter anak usia dini. Yogyakarta: AR-Ruzz Media.
Wong, D. L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Yus, A. (2011). Model Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Prenada Media Group